MULTIKULTURALISME DALAM KACAMATA ISLAM

Multikulturalisme merupakan sebuah aliran yang menganut gagasan menerima perbedaan budaya tanpa mendegradasi nilai-nilai budaya sendiri. Mutikulturalisme berasal dari kata multi yang artinya plural atau lebih dari satu dan kultural yang artinya budaya. Sedangkan budaya adalah gaya hidup yang dianut sekelompok orang yang kemudian diwariskan pada generasi penerusnya. Achmad Rois berpendapat bahwa multikulturalisme merupakan paham tentang pluralitas budaya dan dengan pluralitas  budaya tersebut lahirlah pelbagai pemahaman tentang kebersamaan, kesetaraan, toleransi, keadilan, perdamaian, dan semacamnya.

Multukulturalisme pertamakali muncul di Kanada dan Autralia yang kemudian diikuti oleh Amerika sebagai pembaharu dari teori melting pot. Isu multikulturalisme masuk ke Indonesia pada tahun 2002 diera reformasi. Indonesia sendiri sejatinya telah memiliki moto nasional yang sefrekuensi dengan nilai-nilai multikulturalisme yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang memiliki arti berbeda-beda tetapi satu tujuan. Namun sangat disayangkan, penghayatan makna Bhineka Tungga Ika dalam perjalanannya mulai terasa semu. Maka dari itu internalisasi nilai-nilai multikulturalisme berperan sebagai penyegaran kembali makna Bhineka Tunggal Ika dalam sanubari masyarakat Indonesia.

Indonesia secara kuantitas masyarakatnya dikenal sebagai negara yang didominasi oleh umat Islam. Namun meskipun demikian Indonesia mampu menjaga kerukunan antar umat beragama dengan dipayungi Dasar Negara pada sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebagaimana telah dikatakan diawal bahwa Multikulturalisme merupakan paham tentang penerimaan dan penghormatan  pluralitas kebudayaan tanpa menghilangkan kompleksitas dari perbedaan yang ada. Maka dari itu apakah Multikulturalisme yang merupakan paham yang diadopsi dari bangsa barat ini sesuai dengan syari’at Islam?

Jawabannya adalah Ya, Sesuai.

Dalam praktik bermasyarakat, Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan umat Islam telah memberikan contoh toleransi beragama. Toleransi beragama merupakan salah satu isu yang diangkat dalam Multikulturalisme. Karena setiap ajaran agama akan melahirkan budaya sebagai ciri khas mereka. Dan telah terabadikan dalam sejarah, Nabi Muhammad telah mampu menjadi arbitrator atas perselisihan berkepanjangan antara kabilah Aus dan sekutunya yaitu Yahudi bani Quraizhah dengan kabilah Kharaj dan Yahudi bani Nadhir sebagai sekutu. Nabi Muhammad SAW juga berhasil menyatukan keragaman suku, ras, dan agama di Madinah disertai dengan perlindungan dari segala bentuk diskriminasi dan gangguan. Semua itu terabadikan dalam sebuah perjanjian yang dikenal dengan Piagam Madinah.

Dalam multikultural terdapat tiga prinsip yang dapat mewakili nilai-nilai multikulturalisme yaitu pengakuan terhadap kelompok lain, toleransi, kesetaraan dan persamaan hak antar kelompok lain (Taufik, 2014: 18 dan 24). Tiga prinsip tersebut juga merupakan bagian dari akhlak seorang muslim yang dianjurkan oleh syari’at Islam. Sebagaimana tercermin dalam Al-Qur’an surah Al-Mumtahanah ayat 8 :

لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ

Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Kandungan surah Al-Mumtahanah tersebut menyatakan bahwa Islam menjungjung tinggi nilai-nilai keadilan tanpa membatasi perbedaan suku, ras, agama, bahasa, gender, ataupun kondisi sosial ekonomi. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk saling mencintai sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA yang artinya :

Dari Anas bin Malik RA, Rasulullah SAW bersabda: “Demi (Allah) yang nyawaku ditangan-Nya, tidaklah beriman seorang hamba sehingga dia mencintai tetangganya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri” (HR. Muslim dan Abu Ya’la)

Lantas bagaimana menyikapi pelbagai perbedaan didalam masyarakat Islam?

Tolaransi agama merupakan bagian dari hubungan antara umat Islam dengan agama lain. Seperti halnya di Indonesia tercatat memiliki enam agama resmi yang terdiri dari agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Dalam realitasnya perbedaan internal dalam masyarakat Islampun begitu berwarna. Dari mulai perbedaan Mazhab, organisasi masyarakat Islam, ataupun permasalahan ikhtilaf ulama.

Mayoritas masyarakat Indonesia adalah penganut mazhab Imam Syafi’I. Namun bukan berarti masyarakat penganut mazhab Imam syafi’I menutup diri dari masyarakat penganut Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Hanafi ataupun lainnya. Karena ketika para Imam masih hiduppun perbedaan pendapat disikapi dengan sikap saling menghormati. Selain perbedaan Mazhab di Indonesia juga tumbuh dan berkembang organisasi-organisasi masyarakat Islam. Mengutip dari nasional.tempo.co, berdasarkan hasil survey Alvara Research Center dan Mata Air Foundation menunjukan terdapat lima organisasi kemasyarakatan Islam yang eksis dikalangan pelajar dan mahasiswa. Lima ormas tersebut adalah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Front Pembela Islam, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, dan Hizbut Tahrir Indonesia. Dari kelima ormas tersebut NU dan Muhammadiyah menjadi ormas paling eksis, kendati demikian bukan berarti pendukung ormas lainnya dimarginalkan ataupun dipandang dengan sebelah mata.

Dalam masyarakat Islampun masih ramai mempermasalahkan ikhtilaf ulama dengan perdebatan panas beberapa diantaranya saling mangkafirkan. Seperti halnya hukum mengucapkan selamat Hari Natal, Hukum tentang Musik, Hukum Qunut dalam shalat subuh, dan lain sebagainya. Padahal perbedaan pendapat tersebut merupakan hal yang wajar karena permasalahan yang diangkat tidak disinggung secara terang dalam Al-Qur’an dan Hadis sehingga menjadikannya masuk dalam ranah ijtihad. Imam Syafi’I meriwayatkan dari Amr bin ‘Ash, Rasulullah SAW bersabda  yang artinya: “Jika seorang hakim bergegas memutuskan perkara tentu ia melakukan ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapat dua pahala. Jika ia bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya salah, maka ia mendapat satu pahala” (HR. As-Syafi’I dari Amr bin ‘Ash).

Lantas bagaimana solusinya?

Menyikapi pelbagai perbedaan tersebut dapat disikapi dengan tidak memandang rendah orang-orang yang berbeda dengan kita. Dalam Islam sikap tersebut menjadi bagian akhlak menjaga pandangan. Karena menjaga pandangan bukan hanya perihal menjaga dari segala sesuatu yang haram atau yang  dapat menaikan hasrat seksual namun juga termasuk tidak memandang orang lain dengan pandangan merendahkan. Memandang rendah orang lain dan menganggap diri sendiri lebih baik dari mereka merupakan indikasi adanya benih-benih penyakit ujub dalam diri kita.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa paham Multikulturalisme tidak bersebrangan dengan syari’at Islam. Meskipun paham Multikulturalisme ini muncul di Kanada dan Australia pada sekitar tahun 1970, ternyata dalam syari’at Islampun juga sudah memuat nilai-nilai yang terkandung dalam paham Multikulturalisme tersebut. Sebagai umat Islam kita harus pandai-pandai mengambil hikmah atas segala sesuatu yang kita temui meskipun sesuatu tersebut bukan terlahir dari cipta karya umat muslim.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *