Jari Gampang Ngetik ‘Boikot!’ di Medsos, Tapi Yakin Amarah Kita Udah Sesuai Syariat?

Belakangan ini, linimasa kita lagi “panas” banget. Ada satu kata yang tiba-tiba trending dan diteriakkan di mana-mana: “Boikot!” Kali ini, yang jadi sasaran salah satu stasiun TV besar di linimasa.

Saya nggak akan bahas kasusnya bener atau salah. Bukan itu poinnya.

Yang mau saya ajak obrolin adalah respons kita. Gila, cepet banget ya jari kita “bertaburan” di kolom komentar. Ada yang kecewa, ada yang marah banget, ada yang sumpah serapah, dan pastinya, ada yang paling kenceng teriak “Boikot!”

Wajar nggak sih marah? Wajar. Sebagai penonton, kita punya hak buat kecewa. Niat kita buat “membela” sesuatu yang kita anggap benar (mungkin membela nilai agama atau kepantasan) itu mulia. Itu bisa jadi bagian dari amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kebaikan, mencegah keburukan).

TAPI, tunggu dulu.

Seringkali, niat baik itu dibungkus pakai cara yang salah. Niatnya mau nahi munkar, eh, malah jatuhnya jadi munkar yang baru: fitnah, ghibah berjamaah, dan mencaci maki tanpa batas.

Sebelum jari kita ikut-ikutan ngetik kata “boikot” atau nge-share video yang bikin panas, coba kita tanya diri sendiri: Kita marah ini karena beneran peduli, atau cuma… ikutan emosi?

Jangan Jadi “Korban” Berita Hoaks

Masalah utama di era medsos adalah: kita gampang banget nyebarin berita modal “katanya” atau modal nonton video snippet (potongan) yang 10 detik.

Kita lupa satu perintah paling dasar dari Allah SWT buat kita yang hidup di tengah banjir informasi.

Allah berfirman di QS. Al-Hujurat ayat 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya (Tabayyun), agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”

Tabayyun itu artinya cek dan ricek. Klarifikasi dulu. Cari beritanya dari sumber yang utuh, jangan setengah-tengah. Jangan-jangan, kita ikut marah-marah gara-gara video yang udah dipotong-potong dan diedit buat ngegiring opini.

Kalau kita langsung “gas” tanpa tabayyun, Allah bilang kita bisa “mencelakakan suatu kaum karena kebodohan”. Bodoh di sini bukan berarti nggak sekolah, tapi bodoh karena ceroboh, nggak teliti.

Jebakan ‘Ghibah Berjamaah’

Oke, anggaplah kita udah tabayyun dan nemu kesalahannya. Terus, apa solusinya? Apakah dengan maki-maki di kolom komentar? Apakah dengan ngatain semua krunya, presenternya, sampai ke office boy-nya?

Kayaknya kita juga lupa sama QS. Al-Hujurat ayat 12. Ayat ini komplit banget ngingetin kita soal adab sosial:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِihِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus), dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing (ghibah) sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Sadarkah kita, kolom komentar yang isinya caci maki dan ngomongin kejelekan stasiun TV itu udah masuk kategori apa? Tajassus (mencari-cari kesalahan) dan Ghibah (menggunjing). Dosa yang kita nikmati rame-rame. Niatnya mau protes, malah panen dosa.

Lisan (dan Jari) yang Menentukan Surga Neraka

Nabi Muhammad SAW udah ngingetin kita jauh-jauh hari. Beliau bukan cuma ngomongin soal lisan, tapi semua yang “dihasilkan” oleh lisan, termasuk ketikan jari kita.

Dalam Hadis Sahih (Riwayat Bukhari & Muslim), beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُ

Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau (jika tidak bisa) lebih baik diam.” (HR. Bukhari & Muslim)

Simpel banget, kan? Kalau emang kritikan kita nggak bisa disampaikan dengan cara yang baik, mending diem.

Bahkan ada hadis lain (HR. Tirmidzi, Sahih) yang lebih nyentil. Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka, Beliau menjawab:

الْفَمُ وَالْفَرْجُ

Artinya: “Mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi, Sahih)

Mulut kita, jari kita, adalah tiket yang gampang banget ngirim kita ke tempat yang nggak kita inginkan. Gara-gara satu komentar kebencian, bisa jadi amalan kita hangus.

Terus, Gimana Harusnya? Nasihat Elegan ala Ulama

Imam Syafi’i pernah ngasih kita adab keren banget soal mengkritik atau menasihati. Beliau bilang (dalam Diwan-nya):

“Nasihatilah aku saat aku sendiri, jangan menasihatiku di tengah keramaian. Karena nasihat di tengah orang banyak, itu tak lain adalah hinaan yang tak kusukai.”

Kalau Imam Syafi’i aja nggak suka “dinasihati” (padahal jelas salahnya) di depan umum, gimana kita menasihati lembaga sebesar stasiun TV?

Marah boleh, tapi ada adabnya:

  1. Boikot Elegan: Nggak suka tayangannya? Gampang. Ganti channel. Itu boikot paling efektif dan nggak nambah dosa.
  2. Saluran Resmi: Kalau merasa ada yang salah, ada jalurnya. Kirim email protes resmi ke TV-nya. Atau, laporkan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Itu jauh lebih berdampak daripada bacot di medsos.
  3. Doakan: Daripada melaknat, mending doakan. “Ya Allah, berikan hidayah kepada para kru TV agar bisa menyajikan tontonan yang lebih baik.” Susah? Emang. Tapi itu yang diajarkan Nabi.

Jadi, teman-teman, sebelum kita ikutan “panas” lagi sama isu viral berikutnya, yuk, kita dinginkan dulu kepala kita. Jangan sampai niat baik kita buat membela kebenaran, malah jadi bumerang yang nyeret kita ke dosa baru.

Jadilah penonton yang cerdas, dan jadilah muslim yang bijak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *